Review Film Blinded by the Light (2019): Kisah Inspiratif, Musik Bruce Springsteen, dan Mimpi Pemuda Asia di Tengah Inggris Era 80-an

Review Film Blinded by the Light (2019): Kisah Inspiratif, Musik Bruce Springsteen, dan Mimpi Pemuda Asia di Tengah Inggris Era 80-an
Review Film Blinded by the Light (2019): Kisah Inspiratif, Musik Bruce Springsteen, dan Mimpi Pemuda Asia di Tengah Inggris Era 80-an (Foto: Islami.co)

RESENSIFILM.MY.ID - Bagi kamu yang menyukai film inspiratif berlatar kehidupan remaja dengan sentuhan musik ikonik, Blinded by the Light bisa jadi tontonan yang sangat memuaskan. Film ini dirilis pada tahun 2019 dan disutradarai oleh Gurinder Chadha, sosok di balik film legendaris Bend It Like Beckham. Menggabungkan drama keluarga, perjuangan identitas, serta semangat bermusik, film ini sukses menyentuh hati banyak penontonnya, terutama mereka yang pernah merasa terasing atau kesulitan menemukan suara mereka sendiri dalam kehidupan.

Film ini bukan hanya sebuah kisah tentang musik dan masa muda, tapi juga tentang pertemuan dua budaya yang berbeda—Asia Selatan dan Barat—dalam tubuh seorang remaja bernama Javed. Dengan latar belakang politik, sosial, dan ekonomi Inggris tahun 1987, Blinded by the Light tampil sebagai cerminan zaman yang penuh tekanan, sekaligus harapan.

Sinopsis Singkat: Pertemuan Tak Terduga dengan Bruce Springsteen

Blinded by the Light mengisahkan Javed Khan (diperankan oleh Viveik Kalra), seorang remaja keturunan Pakistan yang tumbuh di kota kecil Luton, Inggris. Di tengah lingkungan yang konservatif dan penuh diskriminasi rasial, Javed berusaha menemukan jati dirinya. Ia hidup dalam tekanan dari ayahnya yang otoriter, kondisi ekonomi keluarga yang sulit, serta ketidakpastian masa depan. Meskipun dia memiliki bakat menulis, ia sering merasa bahwa suaranya tidak didengar, baik di rumah maupun di sekolah.

Hidup Javed berubah ketika ia dikenalkan pada musik Bruce Springsteen oleh temannya, Roops. Lirik-lirik Bruce—yang berbicara tentang kerja keras, impian, perjuangan kelas, dan pencarian makna hidup—langsung menghantam hati Javed dengan keras. Musik Springsteen memberinya keberanian untuk melawan norma, mengejar impian, dan—yang paling penting—untuk percaya pada dirinya sendiri.

Kekuatan Cerita dan Nuansa Emosional

Cerita Blinded by the Light diangkat dari memoar Greetings from Bury Park karya Sarfraz Manzoor, yang juga menulis naskah film ini bersama Gurinder Chadha dan Paul Mayeda Berges. Ini bukan cerita fiksi sepenuhnya, melainkan refleksi nyata dari kehidupan seorang pemuda imigran Asia Selatan di Inggris. Hal itu membuat film ini terasa sangat autentik dan menyentuh.

Salah satu aspek paling menonjol dari film ini adalah bagaimana ia dengan cermat menggambarkan hubungan kompleks antara ayah dan anak. Ayah Javed, seperti banyak imigran generasi pertama, menaruh harapan tinggi pada anak-anaknya untuk meraih kesuksesan yang stabil—dalam bentuk pekerjaan tetap, pernikahan yang baik, dan hidup aman. Namun, Javed punya mimpi sendiri: menjadi penulis. Konflik ini ditampilkan dengan emosional, namun tidak pernah menjadi terlalu melodramatis. Justru, film ini memperlihatkan bahwa cinta dalam keluarga bisa saja kaku dan sulit diungkapkan, namun tetap ada dan berkembang.

Musik Bruce Springsteen Sebagai Jiwa Film

Salah satu kekuatan utama Blinded by the Light terletak pada bagaimana musik Bruce Springsteen bukan hanya sekadar soundtrack, tapi menjadi elemen naratif yang mendorong cerita maju. Lirik-lirik lagu seperti Born to Run, The Promised Land, dan tentu saja Blinded by the Light, muncul di layar dan diucapkan seperti puisi yang hidup, yang memberi Javed semangat baru.

Penggunaan musik dalam film ini tidak hanya estetis, tapi sangat fungsional—lagu-lagu Bruce menjadi penggerak perubahan dalam diri tokoh utama. Bahkan, bagi kamu yang mungkin belum familiar dengan Bruce Springsteen sebelumnya, film ini bisa jadi pintu masuk yang sempurna untuk mengenal lebih dalam karya-karya musisi legendaris ini.

Visual dan Atmosfer Inggris Tahun 80-an

Secara visual, film ini berhasil membangun atmosfer Inggris era 80-an dengan sangat baik. Dari poster kampanye Margaret Thatcher, mode busana yang khas, hingga munculnya gerakan Skinhead yang rasis, semuanya ditampilkan dengan detail yang autentik. Luton digambarkan sebagai kota industri yang kelam dan membosankan—latar yang sempurna untuk memperlihatkan kontras antara dunia nyata dan dunia impian Javed.

Film ini juga banyak bermain dengan teknik sinematik yang kreatif, misalnya saat lirik-lirik lagu Bruce muncul di dinding, langit-langit, dan bahkan langit, seolah menunjukkan bagaimana kata-kata itu benar-benar memenuhi pikiran dan hati Javed.

Performa Aktor dan Chemistry yang Kuat

Viveik Kalra tampil sangat meyakinkan sebagai Javed. Ia berhasil membawakan karakternya dengan rentang emosi yang luas: dari anak pemalu dan bingung, hingga pemuda penuh semangat dan keberanian. Perjalanan emosional Javed terasa sangat alami dan relatable.

Selain Kalra, Hayley Atwell juga tampil solid sebagai guru bahasa Inggris yang mendukung Javed untuk terus menulis. Kulvinder Ghir, yang berperan sebagai ayah Javed, memberikan nuansa otoriter namun simpatik, memperlihatkan kompleksitas seorang kepala keluarga imigran yang sedang kehilangan pijakan di dunia yang terus berubah.

Pesan Sosial dan Relevansi Masa Kini

Walau berlatar tahun 1987, film ini tetap sangat relevan dengan situasi dunia saat ini. Isu-isu seperti rasisme, tekanan budaya, konflik identitas, serta pencarian makna hidup adalah hal-hal yang masih dirasakan banyak orang, terutama para generasi muda dari keluarga imigran.

Film ini juga menyampaikan pesan penting tentang pentingnya kebebasan berekspresi dan mengejar passion, bahkan ketika dunia di sekitarmu tidak memberimu ruang untuk itu. Blinded by the Light mengajarkan bahwa suara kita berharga, bahwa mimpi bukanlah sesuatu yang naif, dan bahwa musik bisa menjadi penyelamat jiwa.

Kritik: Beberapa Momen Terlalu “On the Nose”

Meski secara keseluruhan film ini sangat menyentuh dan inspiratif, ada beberapa momen yang terasa terlalu eksplisit dalam penyampaiannya—terutama ketika pesan-pesan moral disampaikan langsung lewat dialog atau narasi. Di beberapa titik, film ini bisa terasa sedikit didaktik, seperti sedang menguliahi penonton tentang pentingnya bermimpi. Namun ini adalah kekurangan kecil yang mudah dimaafkan mengingat kehangatan dan ketulusan yang ditawarkan film ini.

Kesimpulan: Sebuah Surat Cinta untuk Musik, Impian, dan Keluarga

Blinded by the Light bukan hanya film tentang penggemar Bruce Springsteen. Ini adalah kisah universal tentang harapan, keberanian, dan suara yang ingin didengar. Ini adalah film yang bisa membuat kamu tersenyum, tertawa, menangis, dan mungkin keluar dari ruangan bioskop dengan hati yang sedikit lebih ringan dan inspirasi baru untuk mengejar apa yang kamu cintai.

Untuk kamu yang sedang merasa terjebak dalam rutinitas, merasa tidak dimengerti oleh keluarga, atau sedang mencari inspirasi hidup, film ini adalah rekomendasi wajib. Dan bagi kamu penggemar musik, Blinded by the Light adalah pengalaman sinematik yang menyatukan nada, lirik, dan cerita secara harmonis.

Blinded by the Light adalah pengingat bahwa terkadang, yang kita butuhkan hanyalah satu suara—satu lagu—untuk mengubah cara kita melihat dunia.

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments