Review Film The Irishman (2019): Karya Monumental Martin Scorsese Tentang Kesetiaan, Pengkhianatan, dan Penyesalan
Review Film The Irishman (2019): Karya Monumental Martin Scorsese Tentang Kesetiaan, Pengkhianatan, dan Penyesalan (Foto: IMDB) |
RESENSIFILM.MY.ID - Film The Irishman garapan Martin Scorsese bukan sekadar sebuah film biasa; ini adalah sebuah pengalaman sinematik monumental yang mengupas dunia kelam dan kompleks dari kejahatan terorganisir. Film ini membentang dalam kurun waktu beberapa dekade, dan menggabungkan sejarah, politik, serta cerita pribadi tentang kehilangan dan penyesalan.
Dirilis pada tahun 2019, drama kriminal epik ini mempertemukan aktor-aktor legendaris seperti Robert De Niro, Al Pacino, dan Joe Pesci, memberikan kesan nostalgia sekaligus menggali lebih dalam tema-tema khas Scorsese. Dengan durasi sepanjang 3 jam 29 menit, The Irishman lebih dari sekadar film biasa—ini adalah perjalanan introspektif tentang penuaan, kesetiaan, pengkhianatan, dan penyesalan.
Ringkasan Plot
Berdasarkan buku I Heard You Paint Houses karya Charles Brandt yang terbit pada tahun 2004, The Irishman menceritakan kisah hidup Frank Sheeran (Robert De Niro), seorang veteran Perang Dunia II yang beralih profesi menjadi pembunuh bayaran. Sheeran terlibat dalam operasi keluarga kejahatan Bufalino, dan akhirnya memiliki hubungan erat dengan pemimpin serikat buruh terkenal, Jimmy Hoffa (Al Pacino).
Judul The Irishman merujuk pada julukan Sheeran di dunia kriminal, dan film ini mengisahkan perjalanan hidupnya dari masa tuanya di panti jompo, saat ia merenungkan masa lalunya yang penuh dengan kekerasan dan hubungan yang rumit.
Film ini dimulai dengan masa-masa awal Frank sebagai supir truk yang bekerja untuk keluarga Bufalino yang dipimpin oleh Russell Bufalino (Joe Pesci), seorang bos mafia yang tenang namun mengintimidasi.
Melalui serangkaian tugas, pembunuhan, dan aktivitas ilegal, Sheeran naik pangkat dalam hierarki mafia, hingga akhirnya menjadi orang kepercayaan Jimmy Hoffa. Hubungan ini menjadi inti dari film, dengan hilangnya Hoffa secara misterius pada tahun 1975 menjadi titik krusial, serta keterlibatan Sheeran dalam nasib Hoffa yang meninggalkan bekas emosional mendalam.
Tema: Kesetiaan, Pengkhianatan, dan Perjalanan Waktu
Di balik kisah kriminalnya, The Irishman pada dasarnya adalah sebuah renungan tentang konsekuensi hidup yang dijalani demi kekuasaan, kekerasan, dan kesetiaan. Film ini sangat reflektif, menggambarkan bagaimana penuaan dan penyesalan dapat membebani seseorang.
Berbeda dengan film-film kejahatan Scorsese sebelumnya seperti Goodfellas atau Casino, yang merayakan daya tarik dunia kriminal, The Irishman lebih terasa seperti requiem—sebuah renungan tentang harga yang harus dibayar atas hidup yang dipenuhi dengan kekerasan.
Kesetiaan adalah tema sentral dalam film ini. Kesetiaan Frank Sheeran kepada Russell Bufalino dan Jimmy Hoffa menjadi kekuatan sekaligus kehancurannya. Pengabdiannya kepada keluarga mafia sering kali membuatnya terasing dari hubungan pribadinya, terutama dengan putrinya, Peggy (diperankan oleh Anna Paquin), yang semakin jauh setelah mengetahui dunia kelam yang dijalani ayahnya.
Pengkhianatan juga menjadi motif yang kuat, terutama dalam hubungan antara Sheeran dan Hoffa. Inti emosional dari film ini terletak pada perlahan-lahan munculnya kesadaran bahwa Sheeran pada akhirnya harus mengkhianati orang yang sangat ia hormati dan cintai. Scorsese menyusun momen-momen ini dengan lambat dan penuh makna, sehingga dampak pengkhianatan Sheeran terasa sangat mendalam.
Waktu adalah elemen kuat lainnya dalam The Irishman. Dengan penggunaan teknologi digital untuk mengubah usia para aktor, Scorsese mampu membawa kita melintasi dekade kehidupan Sheeran, menunjukkan pelan-pelan bagaimana fisik dan jiwa Sheeran terkikis oleh waktu dan tindakan masa lalunya.
Perjalanan waktu, dan bagaimana hal itu meruntuhkan bahkan pria paling berkuasa sekalipun, digambarkan dengan sangat jelas dalam babak terakhir film, saat Sheeran ditinggalkan sendirian di panti jompo, merenungkan hidupnya yang penuh kekerasan dan kesetiaan kepada sistem yang pada akhirnya membuangnya.
Penampilan: Kembalinya Para Legenda
Salah satu daya tarik utama The Irishman adalah reuni antara Robert De Niro, Al Pacino, dan Joe Pesci, tiga aktor ikonis dalam genre film gangster. Penampilan mereka benar-benar luar biasa, menunjukkan kemampuan akting mereka yang masih prima meskipun telah berkarier selama puluhan tahun.
Robert De Niro sebagai Frank Sheeran memberikan salah satu penampilan paling mendalam dalam beberapa tahun terakhir. De Niro memerankan Sheeran dengan intensitas tenang, seorang pria yang meskipun terlihat kalem, perlahan-lahan dihancurkan oleh berat masa lalunya. Kemampuan De Niro untuk menyampaikan emosi mendalam tanpa banyak bicara terasa sangat kuat dalam momen-momen akhir film, ketika penyesalan Sheeran begitu terasa, meski tidak diungkapkan dengan kata-kata.
Al Pacino, sebagai Jimmy Hoffa, tampil dengan kharisma yang luar biasa. Hoffa adalah sosok yang keras kepala, karismatik, dan berapi-api, dan Pacino menangkap sisi ini dengan sempurna. Penurunan karier dan paranoia yang dialami Hoffa di akhir hidupnya digambarkan dengan sangat tragis oleh Pacino, menciptakan momen-momen yang memukau. Chemistry antara Pacino dan De Niro sangat luar biasa, dan adegan-adegan mereka bersama menghasilkan salah satu momen emosional terkuat dalam film ini.
Joe Pesci, dalam peran yang jauh lebih tenang dibandingkan karakter-karakter kerasnya di Goodfellas atau Casino, memberikan penampilan yang luar biasa sebagai Russell Bufalino. Pesci memerankan Bufalino dengan ketenangan yang menakutkan—seorang pemimpin mafia yang tenang dan penuh perhitungan. Meskipun penampilannya lebih halus, kekuatan akting Pesci sangat terasa dalam setiap adegan.
Sutradara Scorsese: Seorang Maestro di Puncak Karirnya
Martin Scorsese sekali lagi membuktikan kehebatannya sebagai salah satu sutradara terbesar sepanjang masa melalui The Irishman. Dalam film ini, Scorsese mengesampingkan energi cepat dan gaya narasi dinamis yang biasanya ia gunakan, untuk memberikan pendekatan yang lebih reflektif dan meditatif. Durasi yang panjang memungkinkan Scorsese untuk mengembangkan karakter secara mendalam, memberikan penonton pemahaman yang lebih dalam tentang motivasi, ketakutan, dan penyesalan mereka.
Secara visual, The Irishman memukau. Sinematografer Rodrigo Prieto berhasil menangkap nuansa dunia kriminal yang kelam, serta kesunyian yang mengerikan dari masa tua Sheeran. Penggunaan cahaya dan warna membantu menekankan perubahan suasana film, mulai dari energi cerah era 1960-an hingga dinginnya nuansa masa tua Sheeran yang penuh kesendirian.
Teknologi de-aging yang digunakan dalam film ini, meskipun tidak sempurna, cukup mengesankan. Teknologi ini memungkinkan para aktor untuk bergerak melewati berbagai dekade, meskipun ada momen di mana efek teknologi ini tidak sepenuhnya menghilangkan kenyataan bahwa para aktor sudah tua. Namun, Scorsese bijak dalam menempatkan fokus pada kedalaman emosi, sehingga aspek teknis menjadi bagian sekunder dari cerita.
Kesimpulan: Sebuah Warisan Sinematik
The Irishman adalah karya reflektif dan sangat pribadi dari Martin Scorsese. Film ini terasa seperti puncak dari karier yang telah lama mengeksplorasi sisi gelap ambisi Amerika. Ini adalah film yang menanyakan pertanyaan-pertanyaan sulit tentang kesetiaan, kekerasan, dan konsekuensi dari hidup di jalur yang salah, dan dilakukan dengan keterampilan serta keanggunan yang hanya bisa dicapai oleh seorang maestro seperti Scorsese.
Bagi penggemar drama kriminal, The Irishman adalah tontonan yang wajib, tidak hanya karena penampilan luar biasa dan cerita yang mendalam, tetapi juga karena cara film ini menggali esensi dari kekuasaan, persahabatan, dan konsekuensi yang tak terhindarkan dari hidup yang penuh kejahatan. Ini bukan sekadar film tentang mafia; ini adalah meditasi tentang kondisi manusia, menjadikannya salah satu film paling mendalam yang pernah dibuat oleh Scorsese.
Post a Comment
0 Comments